JANGAN MENGUMPAT, MENGHINA ATAU MEMANGGIL ORANG LAIN DENGAN NAMA BINATANG
1. Mengumpat adalah perkataan dan perbuatan yang dilarang dalam Islam bahkan diancam celaka oleh Allah.
2. Menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain termasuk perbuatan yang terlarangdan termasuk dosa besar.
3. Dosa saling mencaci-maki antara dua orang itu akan ditanggung oleh pihak yang memulai.
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)
Saat ini sedang marak dan menjadi trend uacapan-ucapan seperti anjr, anjy, dan kata semisalnya yang kurang pantas. Beberapa orang juga saling mengolok-olok karena berbeda pandangan dengan kata yang buruk semisal cebong”, kadal gurun dan kampret.
Padahal Allah Ta’ala telah melarang perbuatan mengumpat sebagaimana firman-Nya (yang artinya),
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (Q.S. Al Humazah: 1)
Menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain termasuk perbuatan yang terlarang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
Hai orang-orang yang beriman,*janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain* (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (Q.S. Al-Hujuraat: 11)
Menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain termasuk dalam dosa besar
Selain menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain itu termasuk perbuatan terlarang bahkan perbuatan tersebut Nabi shallallahu alaihi wa sallam kategorikan dalam dosa besar. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar), dan memerangi mereka adalah kekafiran.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jika seseorang mencela sesama muslim dengan panggilan-panggilan, dia berhak mendapatkan hukuman dari penguasa. Diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau ditanya tentang ucapan seseorang kepada orang lain, “Wahai orang fasiq!”; “Wahai orang jelek!”; maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
Itu perbuatan buruk, terdapat hukuman ta’zir (hukuman ta’zir adalah hukuman yang kadarnya tidak ditentukan secara baku oleh syari’at, sehingga kembali kepada kebijakan penguasa), namun tidak ada hukuman hadd (hukuman hadd adalah hukuman baku yang telah ditentutan kadarnya oleh syari’at) untuknya.” (H.R. Al-Baihaqi, dinilai hasan oleh Syaikh Albani).
Jangankan mencela sesama muslim, bahkan mencela binatang saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Diriwayatkan dari sahabat Zaid bin Khalid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah Engkau mencela ayam jantan, karena sesungguhnya ayam jantan itu yang membangunkan kalian shalat.” (H.R. Abu Dawud, dinilai shahih oleh Albani).
Dua orang yang saling mencaci, maka dosanya ditanggung pihak yang memulai
Cacian itu seringkali disebabkan karena adanya pertengkaran dan perselisihan. Dalam masalah ini, hendaknya kita senantiasa mengingat bahwa saling mencaci yang terjadi di antara dua orang yang sedang berselisih, dosanya akan ditanggung oleh pihak yang memulai. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas.” (H.R. Muslim).
Dalam hadits di atas, dosa saling mencaci-maki antara dua orang itu akan ditanggung oleh pihak yang memulai. Hal ini dengan syarat bahwa pihak yang dicaci itu tidak melampaui batas, yaitu tidak membalas cacian dengan kuantitas dan kualitas yang lebih jelek. Jika dia membalas dengan cacian yang lebih jelek (baik secara kuantitas atau kualitas), maka dosa melampaui batas itu dia tanggung sendiri, sedangkan sisanya ditanggung oleh pihak yang memulai (Lihat ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abu Dawud).
Mencela, menghina, atau memanggil orang lain dengan menyebutkan nama binatang
Yang lebih parah lagi adalah ketika seseorang mencela, menghina, atau memanggil orang lain dengan nama binatang. Sangat disayangkan, keburukan ini begitu tersebar pada jaman ini, salah satunya sebagai akibat buruk pesta demokrasi di negeri ini beberapa waktu yang lalu dan mungkin berlanjut sampai hari ini. Betapa mudah kita melihat saudara kita memanggil saudaranya yang lain yang berbeda pilihan politiknya dengan sebutan, “Dasar kecebong!”; atau “Dia itu cebong”; atau bahkan julukan semisal (maaf), “Bonglaf” (kecebong salaf, yang dinisbatkan kepada pihak-pihak yang dianggap paham agama, namun menjadi pendukung salah satu pihak). Bahkan, ucapan dan hinaan semacam itu keluar dari pihak-pihak yang secara lahiriyah paham agama dan memiliki semangat tinggi dalam menjalankan agama.
Sedangkan di pihak lain, mereka pun tidak mau kalah dengan melontarkan julukan kampret” (kelelawar) kepada saudaranya yang berbeda pilihan politik. Demikianlah, satu keburukan akan memunculkan keburukan berikutnya, dan demikian seterusnya.
Saudaraku, ketahuilah bahwa menghina orang lain dengan menyebutkan nama binatang itu dosanya lebih parah. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
Termasuk di antara kalimat yang tercela yang umum dipergunakan dalam perkataan seseorang kepada lawannya (adalah ucapan), Wahai keledai!”; “Wahai kambing hutan!”; “Hai anjing!”; dan ucapan semacam itu. Ucapan semacam ini sangat jelek ditinjau dari dua sisi. Pertama, karena itu ucapan dusta. Kedua, karena ucapan itu akan menyakiti saudaranya. Ucapan ini berbeda dengan perkataan, Wahai orang dzalim!” dan semacamnya. Ucapan ini dimaafkan karena adanya kebutuhan darurat disebabkan oleh pertengkaran. Selain itu, pada umumnya ucapan itu adalah ucapan yang benar, karena keadaan mayoritas orang yang zalim terhadap dirinya sendiri atau orang lain.” (Al-Adzkaar, hal. 314)
Memanggil orang lain dengan nama-nama binatang itu disebut ucapan dusta karena orang lain yang dia panggil itu adalah manusia, bukan binatang. Inilah sisi kedustaannya.
Orang yang melakukannya pun berhak untuk mendapatkan hukuman dari penguasa kaum muslimin. Diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
Sesungguhnya kalian bertanya kepadaku tentang seseorang yang mengatakan kepada orang lain, “Wahai orang kafir!”, “Wahai orang fasiq!”, atau “Wahai keledai!” Tidak ada hukuman hadd dari syari’at (untuk perbuatan itu). Yang ada hanyalah hukuman ta’zir dari penguasa. Maka janganlah diulangi mengucapkannya lagi!” (Lihat Irwa’ul Ghalil).
Sa’id bin Al-Musyyab rahimahullah mengatakan,
Janganlah Engkau berkata kepada temanmu, “Wahai keledai!”, Wahai anjing!”, atau “Wahai babi!” Karena kelak di hari kiamat Engkau akan ditanya, “Apakah Engkau melihat aku diciptakan sebagai anjing, keledai, atau babi?” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 5: 282).
Maka jagalah lisan kita dari perkataan yang sudah diterangkan diatas. Hal ini sesuai sabda Nabi
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).
Ditulis oleh : dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.