MAKNA DAN HUKUM SEPUTAR HIJRAH
Pengertian hijrah
Hijrah secara bahasa diambil dari kata (الهجر) yang artinya meninggalkan. Adapun secara istilah syariat yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad at Tamimi Rahimahullah dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul,
وَالهِجْرَةُ: الاِنْتِقَالُ مِنْ بَلَدِ الشِّرْكِ إِلى بَلَدِ الإِسْلاَمِ
“Hijrah adalah berpindah dari negeri syirik menuju negeri Islam” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).
Sebab disyariatkannya hijrah adalah karena seorang mukmin wajib untuk menampakkan agamanya dan bangga denganya, dalam rangka menjelaskan kepada manusia bahwa dirinya telah bersaksi dengan kebenaran. Dalam persaksian syahadat tauhid Laa ilaha illallah dan syahadat risalah Muhammad Rasulullah, terdapat unsur kewajiban untuk mengabarkan kepada orang lain. Pemberitahuan tentang kabar ini mencakup dengan lisan dan juga amal perbuatan. Menampakkan agama merupakan bentuk pengabaran kepada orang lain yang merupakan kandungan dan makna sayahadat. Oleh karena itu, hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam adalah suatu yang wajib apabila seorang muslim tidak mampu menampakkan agamanya di negeri tersebut.
Bentuk hijrah
Hijrah ada dua bentuk, yaitu:
1. Hijrah yang umum, yaitu setiap hijrah yang dilakukan dari negeri kafir ke negeri Islam. Kewajiban hijrah ini berlaku sampai hari kiamat.
2. Hijrah yang khusus, yaitu hijrah dari Mekah ke Madinah di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat Nabi meninggalkan negeri Mekah, status Mekah dalah negeri syirik. Kemudian Nabi hijrah ke Madinah dan di negeri tersebut tersebarlah agama Islam ke setiap rumah sehingga Madinah menjadi negeri Islam. Sehingga pada saat itu, Nabi hijrah dari negeri syirik, yaitu Mekah, menuju negeri Islam, yaitu Madinah. Ini adalah hijrah yang khusus dan hanya berlaku pada saat itu.
Hal ini sesuai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada hijrah setelah Fathul Mekah.” Yang dimaksud dalam hadis ini adalah hijrah khusus, yaitu dari Mekah ke Madinah (lihat penjelasan dalam Syarh Kitabi Tsalatsatil Ushul li Syaikh Shalih Alu Syaikh).
والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang” (HR. Bukhari).
Contohnya hijrah dari memakan harta riba, mendengrakan musik, meminum khamr, dan perbuatan maksiat lainnya (lihat Syarh Al Ushul Ats Tsalatsah karya Ustadz Dr. Firanda Andirja Hafiidzahullah).
الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 97).
Sisi pendalilannya yaitu bahwa Allah menyifati orang yang tidak mau hijrah bahwa mereka menzalimi diri mereka sendiri. Barangsiapa yang tinggal di negeri kafir, sementara dia mampu untuk berhijrah dan dia tidak mampu menampakkan agama Islam di negeri tersebut, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Orang ini telah melakukan hal yang haram berdasarkan kesepakatan para ulama.
إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa: 98).
Kewajiban golongan ini adalah mengasingkan diri dari orang-orang kafir ketika melaksanakan agamanya dan bersabar terhadap gangguan dari mereka.
Hukum di atas berkaitan tentang hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Selain itu ada jenis hijrah yang lain yaitu dari negeri yang banyak maksiat dan bid’ah menuju ke negeri yang tidak ada atau sedikit perbuatan maksiat dan bid’ah. Sebagian ulama menjelaskan hijrah seperti ini hukumnya mustahab (dianjurkan) (lihat penjelasan dalam Syarh Kitabi Tsalatsatil Ushul li Syaikh Shalih Alu Syaikh).
لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها
“Tidak terputus (kewajiban) hijrah sampai terputusnya taubat, dan bertaubat tidak terputus waktunya sampai terbitnya matahari dari barat.”
Hadis ini menunjukkan bahwa kewajiban hijrah terus berlaku sampai tegaknya hari kiamat. Selama seseorang masih diterima taubatnya, maka tetap ada kewajiban hijrah baginya. Pintu taubat tertutup ketika hari kiamat tiba. Termasuk tanda awal terjadinya kiamat adalah terbitnya matahari dari barat. Jika matahari terbit dari barat, maka pada saat itu taubat sudah tidak diterima. Allah Ta’ala berfirman,
نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ
“Pada hari datangnya sebagian ayat-ayat Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula)’“ (QS. Al-An’am: 158).
Yang dimaksud dengan “sebagian ayat-ayat Tuhanmu” di sini adalah terbitnya matahari dari barat. Hal ini menunjukkan bahwa taubat seorang hamba dapat diterima sebelum terbitnya matahari dari barat. Jika taubat masih dapat diterima, maka kewajiban hijrah tidak terputus.