11 AMALAN BID'AH DI BULAN MUHARRAM
Berikut ini adalah beberapa amalan bid’ah (tidak ada tuntunan) yang ada di bulan Muharram yang masih laris manis di tengah-tengah kaum muslimin di tanah air
Pertama : Keyakinan bahwa bulan Muharram bulan keramat
Keyakinan semacam ini masih bercokol pada sebagian masyarakat. Atas dasar keyakinan ala jahiliyyah inilah banyak di kalangan masyarakat yang enggan menikahkan putrinya pada bulan ini karena alasan akan membawa sial dan kegagalan dalam berumah tangga. Ketahuilah saudaraku, hal ini adalah keyakinan jahiliyyah yang telah dibatalkan oleh Islam. Kesialan tidak ada sangkut pautnya dengan bulan, baik Muharram, Shafar atau bulan-bulan lainnya.
(Syarh Masail al-Jahiliyyah, DR.Sholih al-Fauzan hal.302)
Kedua : Doa awal dan akhir tahun
Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu Zaid berkata: “Tidak ada dalam syariat ini sedikitpun doa’ atau dzikir untuk awal tahun. Manusia zaman sekarang banyak membuat bid’ah berupa do’a, dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali”
(Ishlahul Masajid, al-Qoshimi hal.129, as-Sunan wal Mubtada’at, Muhammad Ahmad Abdus Salam hal.155)
(Tashih ad-Duu’a, Bakr Abu Zaid hal.107)
Ketiga : Peringatan tahun baru hijriyyah
Tidak ragu lagi perkara ini termasuk bid’ah. Tidak ada keterangan dalam as-Sunnah anjuran mengadakan peringatan tahun baru hijriyyah. Perkara ini termasuk bid’ah yang jelek.
(Bida’ wa Akhtho’ hal.218. Lihat secara luas masalah ini dalam risalah Al- Ihtifal bi Ra’si Sanah wa Musyabahati Ashabil Jahim oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari)
Keempat : Puasa awal tahun baru hijriyyah
Perkara ini termasuk bid’ah yang mungkar. Demikian pula puasa akhir tahun, termasuk bid’ah. Hanya dibuat-buat yang tidak berpijak pada dalil sama sekali!. Barangkali mereka berdalil dengan sebuah hadits yang berbunyi;
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ, وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ, فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةَ بِصَوْمٍ, جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةً خَمْسِيْنَ سَنَةً
Barangsiapa yang puasa pada akhir hari Dzulhijjah dan puasa awal tahun pada bulan Muharram, maka dia telah menutup akhir tahun dengan puasa dan membuka awal tahunnya dengan puasa. Semoga Allah manghapuskan dosanya selama lima puluh tahun!!”. Hadits ini adalah hadits yang palsu menurut timbangan para ahli hadits.
(As-Sunan wal Mubtada’at hal.191, Tashihud Du’a hal.107)
(Al-A’lai al-Mashnu’ah, as-Suyuti 2/108, Tanziihus Syari’ah, Ibnu Arroq 2/148, al-Fawaid al-Majmu’ah, as-Syaukani no.280. Kritik Hadits-Hadits Dho’if Populer, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi hal.114)
Kelima : Menghidupkan malam pertama bulan Muharram
Syaikh Abu Syamah berkata: “Tidak ada keutamaan sama sekali pada malam pertama bulan Muharram. Aku sudah meneliti atsar-atsar yang shahih maupun yang lemah dalam masalah ini. Bahkan dalam hadits-hadits yang palsu juga tidak disebutkan!!, aku khawatir -aku berlindung kepada Allah- bahwa perkara ini hanya muncul dari seorang pendusta yang membuat-buat hadits.
(Tashihud Du’a hal.107, Bida’ wa Akhtho hal.221)
(Al-Ba’its Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239)
Keenam : Menghidupkan malam hari ‘Asyuro
Sangat banyak sekali kemungkaran dan bid’ah-bid’ah yang dibuat pada hari ‘Asyuro. Kita mulai dari malam harinya. Banyak manusia yang menghidupkan malam hari ‘Asyuro, baik dengan shalat, do’a dan dzikir atau sekedar berkumpul-kumpul. Perkara ini jelas tidak ada tuntunan yang menganjurkannya.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Termasuk bentuk bid’ah dzikir dan doa adalah menghidupkan malam hari ‘Asyuro dengan dzikir dan ibadah. Mengkhususkan do’a pada malam hari ini dengan nama do’a hari Asyuro, yang konon katanya barangsiapa yang membaca doa ini tidak akan mati tahun tersebut. Atau membaca surat al-Qur’an yang disebutkan nama Musa pada shalat subuh hari ‘Asyuro. Semua ini adalah perkara yang tidak dikehendaki oleh Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin”.
(Iqthido as-Sirath al-Mustaqim 2/129-134, Majmu’ Fatawa 25/307-314 keduanya oleh Ibnu Taimiyyah, al-Ibda’ Fi Madhoril Ibtida’ Ali Mahfuzh hal.56, 269, as-Sunan wal Mubtada’at hal.154-158, 191)
(Bida’ al-Qurro Bakr Abu Zaid hal.9)
(Tashihud Du’a hal.109)
Ketujuh : Shalat ‘Asyuro
Shalat ‘Asyuro adalah shalat yang dikerjakan antara waktu zhuhur dan ashar, empat rakaat, setiap rakaat membaca al-Fatihah sekali, kemudian membaca ayat kursi sepuluh kali, Qul HuwAllahu Ahad sepuluh kali, al-Falaq dan an-Nas lima kali. Apabila selesai salam, istighfar tujuh puluh kali. Orang-orang yang menganjurkan shalat ini dasarnya hanyalah sebuah hadits palsu...!!
As-Syuqoiry berkata: “Hadits shalat ‘Asyuro adalah hadits palsu. Para perowinya majhul, sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuti dalam al-Aala’I al-Mashnu’ah. Tidak boleh meriwayatkan hadits ini, lebih-lebih sampai mengamalkannya...!!”
(al-Fawaid al-Majmu’ah no.60 al-Aala’I al-Masnu’ah 2/92)
(as-Sunan wal Mubtada’at hal.154)
Kedelapan : Do’a hari ‘Asyuro
Diantara contoh do’a ‘Asyuro adalah; “Barangsiapa yang mengucapkan HasbiyAllah wa Ni’mal Wakil an-Nashir sebanyak tujuh puluh kali pada hari ‘Asyuro maka Allah akan menjaganya dari kejelekan pada hari itu”.
Doa ini tidak ada asalnya dari Nabi, para sahabat maupun para tabi’in. Tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang lemah apalagi hadits yang shahih. Do’a ini hanya berasal dari ucapan sebagian manusia!!. Bahkan sebagian syaikh sufi ada yang berlebihan bahwa barangsiapa yang membaca doa ini pada hari ‘Asyuro dia tidak akan mati pada tahun tersebut...!! Ucapan ini jelas batil dan mungkar, karena Allah telah berfirman:
إِنَّ أَجَلَ اللَّهِ إِذَا جَاءَ لَا يُؤَخَّرُ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu Mengetahui. (QS.Nuh: 4)
(Du’a Khotmil Qur’an, Ahmad Muhammad al-Barrok, buku ini sarat dengan khurafat dan kedustaan!!. Bida’ wa Akhtho hal.230)
Kesembilan : Memperingati hari kematian Husein
Pada bulan Muharram, kelompok Syi’ah setiap tahunnya mengadakan upacara kesedihan dan ratapan dengan berdemontrasi ke jalan-jalan dan lapangan, memakai pakaian serba hitam untuk mengenang gugurnya Husain. Mereka juga memukuli pipi mereka sendiri, dada dan punggung mereka, menyobek saku, menangis berteriak histeris dengan menyebut: Ya Husain. Ya Husain!!!”
Lebih-lebih pada tanggal 10 Muharram, mereka lakukan lebih dari itu, mereka memukuli diri sendiri dengan cemeti dan pedang sehingga berlumuran darah!!! Anehnya, mereka menganggap semua itu merupakan amalan ibadah dan syi’ar Islam!! Hanya kepada Allah kita mengadu semua ini.
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: “Adapun menjadikan hari asyuro sebagai hari kesedihan/ratapan sebagaimana dilakukan oleh kaum Rofidhah karena terbunuhnya Husain bin Ali, maka hal itu termasuk perbuatan orang yang tersesat usahanya dalama kehidupan dunia sedangkan dia mengira berbuat baik. Allah dan rasulNya saja tidak pernah memerintahkan agar hari mushibah dan kematian para Nabi dijadikan ratapan, lantas bagaimana dengan orang yang selain mereka...?!”
Husein bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah dari perkawinan Ali bin Abi Thalib dengan putrinya Fatimah binti Rasulullah. Husein sangat dicintai oleh Rasulullah. Beliau bersabda:
حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ اْلأَسْبَاطِ
Husein adalah bagianku juga dan Aku adalah bagian Husein. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husein. Husein termasuk cucu keturunanku.
Husein terbunuh pada peristiwa yang sangat tragis, yaitu pada tanggal 10 Muharram tahun 61 H, di sebuah tempat bernama Karbala, karenanya peristiwa ini kemudian lebih dikenal dengan peristiwa Karbala.
Namun, apapun musibah yang terjadi dan betapapun kita sangat mencintai keluarga Rasulullah bukan alasan untuk bertindak melanggar aturan syariat dengan memperingati hari kematian Husein!!. Sebab, peristiwa terbunuhnya orang yang dicintai Rasulullah sebelum Husein juga pernah terjadi seperti terbunuhnya Hamzah bin Abdil Muthollib, dan hal itu tidak menjadikan Rasulullah dan para sahabatnya mengenang atau memperingati hari peristiwa tersebut, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syi’ah untuk mengenang terbunuhnya Husein.
(Iqthidho as-Siroth al-Mustaqiem 2/131-132)
(Lihat Min Aqoid Syi’ah/Membongkar Kesesatan Aqidah Syi’ah hlm. 57-58, Syaikh Abdullah bin Muhammad)
(Lathoiful Ma’arif hlm. 113)
(HR.Tirmidzi: 3775, Ibnu Majah: 144. Ibnu Hibban: 2240, Hakim 3/177, Ahmad: 4/172, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahihah: 1227)
(Lihat kisah lengkapnya dalam al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir 8/172-191)
(Syahr al-Muharram wa Yaum ‘Asyuro, Abdullah Haidir hal.29)
Kesepuluh : Peringatan hari suka cita
Yang dimaksud hari suka cita adalah hari menampakkan kegembiraan, menghidangkan makanan lebih dari biasanya dan memakai pakaian bagus. Mereka yang membuat acara ini, ingin menyaingi dan mengganti hari kesedihan atas peristiwa terbunuhnya Husein dengan kegembiraan, kontra dengan apa yang dilakukan orang-orang Syiah. Tentunya, acara semacam ini tidak dibenarkan, karena bid’ah tidak boleh dilawan dengan bid’ah yang baru!! Dan tidak ada satu dalilpun yang membolehkan acara semacam ini.
(Majmu’ Fatawa 25/309-310, Iqtidho as-Siroth al-Mustaqiem 2/133, Tamamul Minnah, al-Albani hal.412)
Kesebelas : Berbagai ritual dan adat istiadat di tanah Air
Di tanah air, bila tiba hari ‘Asyuro kita akan melihat berbagai adat dan ritual yang beraneka ragam dalam rangka menyambut hari istimewa ini. Apabila kita lihat secara kacamata syar’I, adat dan ritual ini tidak lepas dari kesyirikan! Seperti meminta berkah dari benda-benda yang dianggap sakti dan keramat, bahkan yang lebih mengenaskan sampai kotoran sapi-pun tidak luput untuk dijadikan alat pencari berkah.
(Diantara adat ritual yang sering dilakukan di daratan Jawa adalah yang dikenal dengan istilah Kirab 1 Syuro. Acara ini sarat dengan kesyirikan, mulai dari keyakinan mereka terhadap benda pusaka keraton, keyakinan kerbau yang punya kekuatan ghaib, tirakatan dengan doa dan dzikir pada malam harinya dan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang sangat jelas)
Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis : Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)